Aku Melihat Matamu di Matanya
Percakapan itu mengalir begitu saja, Roe. Di kerumun kecil itu aku lebih banyak diam, mendengarkan. Aku dibuat tidak sempat mengingat hal lain selain topik yang sedang kami bicarakan. Tentu saja aku tidak sempat mengingatmu. Tidak sempat juga membukakan pintu untuk kenangan-kenangan yang berusaha masuk. Bahkan tidak sempat menyadarinya. Betapa aku menikmatinya..
Tapi ada satu detik,
atau bahkan sepersekian detik aku dibuat sempat mengingat semuanya. Tidak ada
yang memaksa. Sebuah kerlingan mata yang merefleksikan cahaya, gerak, dan tentu
saja kenangan milikku tentangmu.
Roe, Aku yakin setiap
orang punya cahaya mata yang berbeda. Gerak menyudut, lirikan, mata menerawang.
Aku melihat matamu di matanya. Seseorang yang saat itu tengah bicara. Satu
detik atau bahkan mungkin sepersekian detik, menciptakan detik-detik berikutnya
untukku yang akhirnya sempat mengingatmu. Imajinasi tentang rumah, tentang
kopi, tentang kita..
Aku pikir aku sudah
lupa.
Tapi aku benar-benar
melihat matamu dimatanya..
“Ayolah, bisakah kita, maksudku kamu, bersikap seperti orang
normal pada umumnya? Kamu lebih banyak melamun hari ini,” hilang. Diam yang
kususun rapi sekarang berhamburan seperti kertas remi tertiup napas seorang
bocah yang susah payah membangunnya membentuk piramid-piramid.
“Aku tidak sedang melamun, Fuan..” kujawab singkat. Satu
goresan kuas ke kanan. Warnanya kuning cerah. Secerah kuning telur mata sapi
yang ibu masak setiap pagi. Aku selalu heran mengapa ayam punya nasib buruk,
dilupakan begitu saja ketika telurnya di-ceplok
di atas wajan berminyak panas. Kasihan sekali. Siapa pula sapi itu? dan, satu
lagi! apakah warna mata sapi berwarna kuning?
“Lantas?” Fuan mengaduk-aduk cat air dengan kuas kumal,
meramu warna dalam wadah kecil. Ia selalu menyukai kebisingan suara kuas yang bergeltukkan
membentur wadah kecil, botol kaca, atau benda apapun yang menghasilkan suara
ketika dibentur-benturkan dengan kuas. Tapi entah bagaimana caranya, seseorang
yang diam atau melamun atau yang terlihat seperti sedang melamun kadang membuatnya
berhenti bermain-main. Katanya saat baru berkenalan dahulu, ia tidak suka orang
yang melamun. Lebih tepatnya ia tidak suka dibuat penasaran oleh orang yang
sedang melamun. Dia aneh. Jelas-jelas aku tidak melamun. Hei, apa dia tidak
lihat?
“Aku hanya…sedang dikira melamun,” kataku selanjutnya.
Dua-tiga
goresan ke kiri. Disusul goresan biru laut, membentuk nada warna yang berbeda
ketika bersentuhan dengan warna kuning.
“Kamu semakin aneh. Baiklah, biarkan aku selesai meramu
warna ini, lalu belajar melukis karena aku mulai bosan, dan jangan membuatku
penasaran dengan tingkah lakumu yang….ergh,” entah apa nama warna yang sedang
Fuan buat. Dia paling jago masalah warna hingga aku, bahkan bumi dan langit
tidak tahu harus menyebut warna yang ia buat apa.
“Ssst.. Jangan menggangguku dengan membuatku penasaran
dengan kata-katamu yang bahkan lebih aneh daripada tingkah lakuku,” aku tertawa
lepas. Beberapa goresan warna kubiarkan berpadu dengan warna didekatnya,
membentuk warna-warna baru yang tidak kukenal namanya.
Selesai!
Sebuah lukisan rumah berjudul Rumah.
“Rumah? Kau sedang merindukan rumah? Atau kamu ingin punya
rumah sebesar ini? Hei, nona?” Fuan mengamat-amati lukisanku.
Ah, terserah apa katamu Fuan. Kamu terlalu banyak bicara
pagi ini. Satu seruput kopi menjadi penutup pembicaraanku dengan Fuan di
beranda base camp. Aku malas bicara
banyak. Biarkan lidahku ini tidur hingga datang siang, Fuan. Ia lelah semalaman
bercakap dengan tuannya di depan kaca, perilaku yang sering kamu anggap tidak
waras.
Percuma menceritakan kisah di kepalaku tentang sebuah rumah.
Percuma menjelaskannya kepadamu bahwa di dalam Rumah itu ada seorang perempuan
mengenakan baju terbaiknya, duduk di depan jendela, membaca apapun yang ia suka
termasuk membaca jam dinding karena seorang laki-laki dengan pakaian lusuh dan
bau keringat akan pulang bersama senyuman dan kelelahan yang susah payah
disembunyikan sedangkan ia tak menyadari bahwa perempuan yang sedang
menunggunya sangat mahir membaca, membaca matanya.
Mungkin ini akan menjadi hal yang paling susah diterima
logikamu yang menawan karena setiap kali aku melukis rumah, aku bisa melihat
secangkir kopi panas dalam cangkir warna putih dan ampasnya yang menempel tidak
beraturan di pinggiran cangkir di atas meja bersama secangkir kopi lain yang
sudah mendingin dan hampir habis milik seorang perempuan yang suka duduk di
depan jendela rumahnya. Aku bisa mendengar suara pintu dibuka, ucapan salam
disela senyum dan kelalahan, bunyi sepatu yang belum sempat di tanggalkan, tas
jinjing yang bersentuhan dengan celana kain hitam, suara seruput kopi panas,
suara aliran kopi yang mengalir pelan membasahi tenggorokannya yang payah
karena seharian banyak bersuara. Fuan, kamu mungkin tidak bisa mendengarnya.
Karena yang kudengar adalah rintik hujan yang selalu datang tepat waktu lalu mengetuk-ngetuk
kaca jendela meminta perhatian seorang perempuan yang kini pandangannya
teralih.
Oh, Fuan, bagaimana kamu bisa memahami ini semua sedang kamu
terlalu banyak berkomentar dan acap kali mengiraku aneh dan tidak normal? Apa
baiknya menjadi normal, Fuan? Katakan! Barangkali aku tertarik menjadi seutuhnya
normal sepertimu sehingga tidak merasa jenuh hidup dalam rutinitas
bangun-sarapan-kerja-lelah-pulang-tidur—mu itu yang kadang-kadang, kalau
sempat, kamu sisipi dengan liburan seharian di akhir pekan. Tapi Rumah ini,
Fuan, kamu bahkan tidak membiarkan sekabut kehidupan yang warna-warni dan tidak waras bertamu di kepalamu yang
kokoh logika dan sarat akan hal-hal yang lurus, masuk akal, lugas, dan tidak
bertele-tele.
Bahkan aku tuna-menjelaskan kisah tentang Rumah, apa yang
kudengar, kulihat, kehidupan-kehidupan yang pernah kamu sebut mistis ini
kepadamu. Sedang dalam separuh jiwaku yang lain aku seperti kumpulan
warna-warna cat air yang kamu aduk dengan kuas kumal. Dari atas kamu melihat
begitu pelan dan lambat warna berubah dan bercampur, tapi kamu tidak menyadari
bahwa dibawah permukaan ramuan cat air mu warna-warna itu sedang berkompromi,
berkonsolidasi, mungkin juga sidang istimewa, hendak jadi warna apa mereka. Hingga
pada akhirnya setelah warna baru terbentuk, kamu sendiri bahkan tidak tahu harus menamainya apa karena kamu sungguh
tidak peduli tentang nama, tentang warna. Lalu, Fuan, bagaimana aku bisa
menjelaskan sesuatu yang lebih rumit dan abstrak, tentang cahaya mata misalnya?
Karena jika kamu mau tahu, maka akulah perempuan yang suka duduk di jendela dan
bukan kamulah yang menyeruput kopi panas dalam cangkir putih di atas meja.
Fuan, aku melihat matanya di matamu kala itu. Tepat saat aku
dan dua orang temanmu menyimak ceritamu dan mereka menanggapinya dengan
pertanyaan yang asyik sekali untuk didengar, setelah beberapa waktu kamu sukses
membuatku lupa tentang hal-hal tidak
waras dan aneh juga tentang
seseorang yang kubayangkan sedang menyeruput kopi panas dalam cangkir putih di
atas meja. Tapi sedetik kemudian entah pukul berapa, saat kamu diam, entah
ekspresimu yang bagaimana, cahaya matamu sempurna menyadarkan ingatan-ingatan
yang sempat terlupa olehku.
Aku melihat matanya di matamu, Fuan. Aku kira aku sudah
lupa. Aku kira aku sudah berhasil menjadi, setidaknya, manusia setengah normal
yang berusaha mencintai manusia normal. Ingatan itu kembali dengan sangat
jernih seperti air mineral yang kamu minum saat kita pertama kali berkenalan.
Jernih, hingga dapat terlihat dasarnya. Ingatan-ingatan seperti lagu yang tak
pernah selesai dinyanyikan dalam satu malam, Fuan, karena sejak saat itu hingga
pagi dimana kamu lihat sebuah Rumah dalam kanvas dan segala kehidupan-kehidupan
yang kuciptakan di dalamnya ini, aku masih teringat dan mengingat memori itu
begitu saja. Tanpa sengaja. Tidak ada rencana.
Fuan, Beritahu aku, apa aku sebenar-benarnya gagal? Jika
benar, maka katakan padaku bahwa aku telah gagal! Tentang lelaki bernama Roe,
tentang imajinasi seruput kopi, tentang Rumah, tentang ingatan, cahaya mata,
tentang cinta milik Roe. Katakan bahwa aku telah gagal menjadi, setidaknya,
manusia setengah normal yang berusaha mencintai manusia normal. Beritahu aku
entah dengan bahasa seperti apa, sebisamu, apapun dengan caramu. Bahasa
sederhana yang bisa kamu katakan selain kata-kata “tidak normal” dan “aneh”,
tidak perlu bahasa warna-warni, konotasi-konotasi, sebab aku mengerti kamu
tidak begitu pandai membuatnya.
Beritahu aku Fuan..
Fuan…
“Irra,” Fuan kedua kalinya menghamburkan diamku pagi ini.
Segalanya menghening dan membiru.
“Aku mencintaimu,” dua kata itu, seperti menciptakan keheningan di wajah, tentu saja Fuan dan aku, dan kuas kumal, cat-car air, noda warna-warni, dan lukisan Rumah.
Kuselami kedua matanya, melupakan sejenak tentang Rumah dan
daratan tempatku menjejak ingatan dan menyeruput kopi setengah dingin, lalu
membiarkan diri tenggelam dalam pusaran yang membawa entah kemana.
Lirih-lirih bibirku berucap.
Biarkan aku tenggelam, Roe..
Novi Ambarsari.
Yogyakarta, 4/2/2015
0 responses:
Post a Comment