~

~
by: Novi Ambarsari (vivovin)
menulis adalah secangkir teh hangat. silakan diminum selagi hangat. maka dengan ini, selamatlah membaca selagi ampasnya mengendap~

Wednesday, February 4, 2015

Aku Melihat Matamu di Matanya

Percakapan itu mengalir begitu saja, Roe. Di kerumun kecil itu aku lebih banyak diam, mendengarkan. Aku dibuat tidak sempat mengingat hal lain selain topik yang sedang kami bicarakan. Tentu saja aku tidak sempat mengingatmu. Tidak sempat juga membukakan pintu untuk kenangan-kenangan yang berusaha masuk. Bahkan tidak sempat menyadarinya. Betapa aku menikmatinya..



Tapi ada satu detik, atau bahkan sepersekian detik aku dibuat sempat mengingat semuanya. Tidak ada yang memaksa. Sebuah kerlingan mata yang merefleksikan cahaya, gerak, dan tentu saja kenangan milikku tentangmu. 

Roe, Aku yakin setiap orang punya cahaya mata yang berbeda. Gerak menyudut, lirikan, mata menerawang. Aku melihat matamu di matanya. Seseorang yang saat itu tengah bicara. Satu detik atau bahkan mungkin sepersekian detik, menciptakan detik-detik berikutnya untukku yang akhirnya sempat mengingatmu. Imajinasi tentang rumah, tentang kopi, tentang kita..
Aku pikir aku sudah lupa. 

Tapi aku benar-benar melihat matamu dimatanya..

“Ayolah, bisakah kita, maksudku kamu, bersikap seperti orang normal pada umumnya? Kamu lebih banyak melamun hari ini,” hilang. Diam yang kususun rapi sekarang berhamburan seperti kertas remi tertiup napas seorang bocah yang susah payah membangunnya membentuk piramid-piramid.

“Aku tidak sedang melamun, Fuan..” kujawab singkat. Satu goresan kuas ke kanan. Warnanya kuning cerah. Secerah kuning telur mata sapi yang ibu masak setiap pagi. Aku selalu heran mengapa ayam punya nasib buruk, dilupakan begitu saja ketika telurnya di-ceplok di atas wajan berminyak panas. Kasihan sekali. Siapa pula sapi itu? dan, satu lagi! apakah warna mata sapi berwarna kuning?

“Lantas?” Fuan mengaduk-aduk cat air dengan kuas kumal, meramu warna dalam wadah kecil. Ia selalu menyukai  kebisingan suara kuas yang bergeltukkan membentur wadah kecil, botol kaca, atau benda apapun yang menghasilkan suara ketika dibentur-benturkan dengan kuas. Tapi entah bagaimana caranya, seseorang yang diam atau melamun atau yang terlihat seperti sedang melamun kadang membuatnya berhenti bermain-main. Katanya saat baru berkenalan dahulu, ia tidak suka orang yang melamun. Lebih tepatnya ia tidak suka dibuat penasaran oleh orang yang sedang melamun. Dia aneh. Jelas-jelas aku tidak melamun. Hei, apa dia tidak lihat? 

“Aku hanya…sedang dikira melamun,” kataku selanjutnya. 

Dua-tiga goresan ke kiri. Disusul goresan biru laut, membentuk nada warna yang berbeda ketika bersentuhan dengan warna kuning.

“Kamu semakin aneh. Baiklah, biarkan aku selesai meramu warna ini, lalu belajar melukis karena aku mulai bosan, dan jangan membuatku penasaran dengan tingkah lakumu yang….ergh,” entah apa nama warna yang sedang Fuan buat. Dia paling jago masalah warna hingga aku, bahkan bumi dan langit tidak tahu harus menyebut warna yang ia buat apa.

“Ssst.. Jangan menggangguku dengan membuatku penasaran dengan kata-katamu yang bahkan lebih aneh daripada tingkah lakuku,” aku tertawa lepas. Beberapa goresan warna kubiarkan berpadu dengan warna didekatnya, membentuk warna-warna baru yang tidak kukenal namanya. 

Selesai! 

Sebuah lukisan rumah berjudul Rumah.

“Rumah? Kau sedang merindukan rumah? Atau kamu ingin punya rumah sebesar ini? Hei, nona?” Fuan mengamat-amati lukisanku. 

Ah, terserah apa katamu Fuan. Kamu terlalu banyak bicara pagi ini. Satu seruput kopi menjadi penutup pembicaraanku dengan Fuan di beranda base camp. Aku malas bicara banyak. Biarkan lidahku ini tidur hingga datang siang, Fuan. Ia lelah semalaman bercakap dengan tuannya di depan kaca, perilaku yang sering kamu anggap tidak waras. 

Percuma menceritakan kisah di kepalaku tentang sebuah rumah. Percuma menjelaskannya kepadamu bahwa di dalam Rumah itu ada seorang perempuan mengenakan baju terbaiknya, duduk di depan jendela, membaca apapun yang ia suka termasuk membaca jam dinding karena seorang laki-laki dengan pakaian lusuh dan bau keringat akan pulang bersama senyuman dan kelelahan yang susah payah disembunyikan sedangkan ia tak menyadari bahwa perempuan yang sedang menunggunya sangat mahir membaca, membaca matanya.

Mungkin ini akan menjadi hal yang paling susah diterima logikamu yang menawan karena setiap kali aku melukis rumah, aku bisa melihat secangkir kopi panas dalam cangkir warna putih dan ampasnya yang menempel tidak beraturan di pinggiran cangkir di atas meja bersama secangkir kopi lain yang sudah mendingin dan hampir habis milik seorang perempuan yang suka duduk di depan jendela rumahnya. Aku bisa mendengar suara pintu dibuka, ucapan salam disela senyum dan kelalahan, bunyi sepatu yang belum sempat di tanggalkan, tas jinjing yang bersentuhan dengan celana kain hitam, suara seruput kopi panas, suara aliran kopi yang mengalir pelan membasahi tenggorokannya yang payah karena seharian banyak bersuara. Fuan, kamu mungkin tidak bisa mendengarnya. Karena yang kudengar adalah rintik hujan yang selalu datang tepat waktu lalu mengetuk-ngetuk kaca jendela meminta perhatian seorang perempuan yang kini pandangannya teralih. 

Oh, Fuan, bagaimana kamu bisa memahami ini semua sedang kamu terlalu banyak berkomentar dan acap kali mengiraku aneh dan tidak normal? Apa baiknya menjadi normal, Fuan? Katakan! Barangkali aku tertarik menjadi seutuhnya normal sepertimu sehingga tidak merasa jenuh hidup dalam rutinitas bangun-sarapan-kerja-lelah-pulang-tidur—mu itu yang kadang-kadang, kalau sempat, kamu sisipi dengan liburan seharian di akhir pekan. Tapi Rumah ini, Fuan, kamu bahkan tidak membiarkan sekabut kehidupan yang warna-warni dan tidak waras bertamu di kepalamu yang kokoh logika dan sarat akan hal-hal yang lurus, masuk akal, lugas, dan tidak bertele-tele. 

Bahkan aku tuna-menjelaskan kisah tentang Rumah, apa yang kudengar, kulihat, kehidupan-kehidupan yang pernah kamu sebut mistis ini kepadamu. Sedang dalam separuh jiwaku yang lain aku seperti kumpulan warna-warna cat air yang kamu aduk dengan kuas kumal. Dari atas kamu melihat begitu pelan dan lambat warna berubah dan bercampur, tapi kamu tidak menyadari bahwa dibawah permukaan ramuan cat air mu warna-warna itu sedang berkompromi, berkonsolidasi, mungkin juga sidang istimewa, hendak jadi warna apa mereka. Hingga pada akhirnya setelah warna baru terbentuk, kamu sendiri bahkan tidak tahu  harus menamainya apa karena kamu sungguh tidak peduli tentang nama, tentang warna. Lalu, Fuan, bagaimana aku bisa menjelaskan sesuatu yang lebih rumit dan abstrak, tentang cahaya mata misalnya? Karena jika kamu mau tahu, maka akulah perempuan yang suka duduk di jendela dan bukan kamulah yang menyeruput kopi panas dalam cangkir putih di atas meja. 

Fuan, aku melihat matanya di matamu kala itu. Tepat saat aku dan dua orang temanmu menyimak ceritamu dan mereka menanggapinya dengan pertanyaan yang asyik sekali untuk didengar, setelah beberapa waktu kamu sukses membuatku lupa tentang hal-hal tidak waras dan aneh juga tentang seseorang yang kubayangkan sedang menyeruput kopi panas dalam cangkir putih di atas meja. Tapi sedetik kemudian entah pukul berapa, saat kamu diam, entah ekspresimu yang bagaimana, cahaya matamu sempurna menyadarkan ingatan-ingatan yang sempat terlupa olehku. 

Aku melihat matanya di matamu, Fuan. Aku kira aku sudah lupa. Aku kira aku sudah berhasil menjadi, setidaknya, manusia setengah normal yang berusaha mencintai manusia normal. Ingatan itu kembali dengan sangat jernih seperti air mineral yang kamu minum saat kita pertama kali berkenalan. Jernih, hingga dapat terlihat dasarnya. Ingatan-ingatan seperti lagu yang tak pernah selesai dinyanyikan dalam satu malam, Fuan, karena sejak saat itu hingga pagi dimana kamu lihat sebuah Rumah dalam kanvas dan segala kehidupan-kehidupan yang kuciptakan di dalamnya ini, aku masih teringat dan mengingat memori itu begitu saja. Tanpa sengaja. Tidak ada rencana. 

Fuan, Beritahu aku, apa aku sebenar-benarnya gagal? Jika benar, maka katakan padaku bahwa aku telah gagal! Tentang lelaki bernama Roe, tentang imajinasi seruput kopi, tentang Rumah, tentang ingatan, cahaya mata, tentang cinta milik Roe. Katakan bahwa aku telah gagal menjadi, setidaknya, manusia setengah normal yang berusaha mencintai manusia normal. Beritahu aku entah dengan bahasa seperti apa, sebisamu, apapun dengan caramu. Bahasa sederhana yang bisa kamu katakan selain kata-kata “tidak normal” dan “aneh”, tidak perlu bahasa warna-warni, konotasi-konotasi, sebab aku mengerti kamu tidak begitu pandai membuatnya. 

Beritahu aku Fuan.. Fuan…

“Irra,” Fuan kedua kalinya menghamburkan diamku pagi ini.

Segalanya menghening dan membiru.

“Aku mencintaimu,” dua kata itu, seperti menciptakan keheningan di wajah, tentu saja Fuan dan aku, dan kuas kumal, cat-car air, noda warna-warni, dan lukisan Rumah.

Kuselami kedua matanya, melupakan sejenak tentang Rumah dan daratan tempatku menjejak ingatan dan menyeruput kopi setengah dingin, lalu membiarkan diri tenggelam dalam pusaran yang membawa entah kemana. 

Lirih-lirih bibirku berucap.

Biarkan aku tenggelam, Roe..



Novi Ambarsari.

Yogyakarta, 4/2/2015

0 responses:

Post a Comment

Copyright © 2014 The Words World