Menuntut Ilmu (Potret Sekolah Antara Murid dengan Guru) #1
Ilmu adalah salah satu kebutuhan kita yang mutlak harus dipenuhi. Hukum menuntut ilmu memang wajib. Dalam islam pahala menuntut ilmu sama dengan pahala berjihad di jalan Allah. Ilmu sendiri bersifat kekal jika diamalkan dalam kehidupan sehari-hari apalagi diajarkan kepada sesama. Contoh ilmu memasak. Kita akan mudah lupa bagaimana cara membuat pepes ikan jika hanya membaca resep dan menghafalnya namun tidak dipraktekkan atau diajarkan kepada orang lain, begitu juga sebaliknya.
Menuntut ilmu akan membuat pandangan, pengetahuan, dan pikiran kita lebih luas. Dari yang tidak tahu menjadi tahu. Dari yang tidak mengerti menjadi mengerti. Ilmu sendiri erat kaitannya dengan pemahaman. Semakin seseorang paham dengan suatu ilmu maka semakin melekat pula ilmu itu dalam ingatannya.
Kita ambil contoh kegiatan menuntut ilmu di sekolah. Siapa yang menuntut ilmu? Murid saja? Tidak, guru pun juga menuntut ilmu. Keduanya (murid dan guru) sebenarnya sama-sama sedang menuntut ilmu. Menuntut ilmu tidak hanya berarti bersekolah. Menuntut ilmu itu belajar. Guru pun juga belajar di sekolah. Ia tak akan tahu perbedaan cara belajar murid dan bagaimana mengatasinya tanpa mengajar di sekolah. Bukankah itu namanya belajar atau menuntut ilmu?
Namun jika kita lihat lebih jeli lagi, menuntut ilmu akhir-akhir ini mempunyai makna yang berbeda. Menuntut ilmu sering dipandang sebagai cara untuk memperoleh predikat bahkan ada yang mengatakan bahwa menuntut ilmu itu adalah bagaimana cara memperoleh nilai. Prakteknya disandarkan pada berapa besar nilai, lulus tidaknya siswa, atau yang lebih parah mampu tidaknya siswa mendapat rangking teratas.
Kebanyakan guru dan murid bahkan merembet kepada orang tua siswa mempunyai pemikiran seperti itu. Padahal kenyataannya hal tersebut malah membuat siswa tertekan. Akibatnya bisa berujung stres, putus asa, frustasi, bahkan bunuh diri.
Tidak hanya itu, di sekolah siswa dituntut untuk sempurna dengan pembelajaran yang sama melulu. Murid dipaksa untuk menguasai semua pelajaran padahal mereka mempunyai daya tangkap yang berbeda. Lebih parahnya lagi sekolah memajang nilai siswa dari nilai tertinggi hingga nilai terendah. Kalau diprotes mereka akan beralasan, “itu untuk memotivasi siswa agar lebih giat belajar”. Kenyataannya? Siswa tersebut malu dan terpuruk. Ia harus menerima tekanan dari sekolah, mendapat cemoohan teman-teman, belum lagi kemarahan orang tuanya.
Contoh yang lain lagi adalah ketika siswa dituntut untuk mengerjakan puluhan soal yang harus terselesaikan dalam waktu sekian hari. Ini boleh dilakukan namun ada sisi ketidakefektifannya. Hal ini akan menjadi mindset pada kebanyakan siswa bahwa menuntut ilmu itu mengerjakan soal dan ulangan serta menyelesaikannya. Mereka seolah tidak berpikir bahwa menuntut ilmu itu mendapat, mengerti, dan memahami suatu hal yang baru. Akhirnya siswa pun tertekan kembali.
Meskipun begitu kita juga tidak boleh menyalahkan guru saja. Nyatanya masih ada guru yang memiliki cara mengajar yang efektif, baik, dan benar. Menjadi sosok guru yang ideal itu memang tidak gampang. Lagipula, ideal tidaknya seorang guru itu relatif.
Ada seorang guru kimia di Banyuwangi yang bisa dibilang guru muda memiliki cara pengajaran yang tergolong efektif. Meskipun mata pelajarannya terdengar begitu sulit, namun ia membawakannya dengan mudah, santai, tapi semangat. Siswa diajak untuk berdiskusi tentang suatu soal. Yang paling menarik adalah cara beliau mengajak siswanya untuk tidak malas belajar dan mengerjakan soal. Memakai spidol-spidol berwarna adalah ciri khasnya yang membuat siswa tidak bosan belajar. Beliau mengajarkan ilmunya dengan senang hati dengan misinya untuk mencerdaskan anak bangsa. Kalau siswa belum menegerti maka ia akan menerangkan lagi sampai siswa itu mengerti. Siswa sama sekali tidak merasa tertekan pun saat disuruh menyelesaikan soal. Karena telah tertanam dalam mindset mereka bahwa mereka sedang memepelajari ilmu baru. “Kalau tidak menemukan jawabannya, ya dicoba lagi sampai ketemu.” kata salah seorang siswanya.
Memang tidak ada guru yang sempurna sesuai kemauan kita. Begitu juga untuk guru, murid bukan robot atau sejenisnya yang mempunyai cara belajar dan daya tangkap yang sama. Mari kita telaah lagi! Menuntut ilmu itu memang hukumnya wajib oleh karena itu alangkah sia-sia sebuah ilmu jika tidak dipraktekkan atau diamalkan dalam kehidupan sehari-hari apalagi tanpa adanya pemahaman. Juga alangkah indahnya jika menuntut ilmu itu dibuat se-asyik mungkin dan menyenangkan. Entah dari cara pembelajarannya, cara menyampaikan materi, tempat belajar, alat-alat praktikum, maupun komunikasi antara murid dengan guru.
Guru dan murid memang sama-sama belajar, oleh karenanya harus saling mengerti. Jika guru menginginkan muridnya pintar disegala bidang itu mustahil meskipun tidak menutup kemungkinan bagi siswa yang diberi kemampuan lebih.
Guru adalah pendidik. yang harus dinomor satukan bagi seoarang pendidik adalah bagaimana cara agar siswa paham. Prakteknya adalah pertama dengan melihat dan memahami karakteristik muridnya. Dari bagaimana ia belajar sampai bagaimana ia memahami suatu materi. Murid cenderung bosan terhadap suatu cara pembelajaran. Ia harus terus dimotivasi. Ingat, disini murid adalah generasi penerus. Maka jangan sampai ilmu yang guru ajarkan hanya sepintas diotak dan tak bertahan lama. Jika murid sudah merasa tertekan maka akan menggangu konsentrasinya.
Untuk mengetahui dan memahami karakteristik siswa, guru dapat membagi siswa di kelas dalam beberapa kelompok belajar. Dimana salah satu anggota adalah ketua yang merupakan penanggung jawab kelompok. Dalam kelompok tersebut harus ada beberapa siswa yang rajin atau menguasai suatu mata pelajaran. Sehingga ketika ada anggota yang tidak bisa, anggota lain dapat membantu. Guru dapat memantau masing-masing kelompok. Hal ini lebih mudah dilakukan karena guru membagi mereka dalam lingkup yang lebih kecil.
Jangan hanya menanamkan pada siswa untuk harus meraih rangking sekian atau nilai diatas sekian kalau pihak guru sendiri tidak memotivasinya tapi malah menjatuhkannya. Maka perlu adanya pendekatan guru dengan murid. Meng-anak-emas-kan murid itu juga tidak baik. Misal murid yang pintar dan aktif lebih diperhatikan daripada murid yang pendiam. Padahal belum tentu murid pendiam itu tidak pintar. Antara murid pintar, aktif, pasif, pendiam, maupun yang kurang pintar juga perlu diperhatikan karena mereka memiliki hak yang sama yaitu memperoleh pendidikan.
Sedangkan murid adalah yang dididik. Murid jangan hanya mengandalkan guru. Ketika guru tidak sesuai dengan keinginan kita, maka jangan sampai mengganggu kemauan kita untuk belajar. Jadikan setiap hal adalah hikmah dan motivasi untuk menjadi yang lebih baik. Kalianlah generasi penerus bangsa. Dan sekali lagi saya tekankan, menuntut ilmu itu tidak hanya di sekolah dan bersekolah. Menuntut ilmu itu bisa dengan cara apapun dan dimanapun. Karena sejatinya menuntut ilmu itu adalah belajar. Jadikan belajar adalah hal yang indah dan tak berujung agar kita terus semangat dan tidak menjadikan kita sombong akan ilmu yang telah kita punya. Belajar itu tidak kenal usia. Maka jangan jadikan usia sebagai alasan untuk berhenti belajar.
0 responses:
Post a Comment