KLEPTO
Aku, seorang gadis 17 tahun yang jarang terbebani oleh masalah. Maksudku, aku tidak pernah punya masalah yang benar-benar tragis merayapi kehidupanku. Aku pikir aku memang ditakdirkan seperti ini. tapi semuanya berbalik 180 derajat setelah aku menyadari akulah sahabat karib dari seorang bernama Tarra, si Klepto! Aku tidak bercanda. Ini benar-benar masalah besar buatku. Tidak ku sangka, selama dua tahun aku bersahabat oleh manusia dengan sifat yang paling aku benci, MENCURI!
Teman-teman mulai menganggapku gila karena aku berteman dengan seorang pencuri. Awalnya aku tidak mengerti mengapa teman-teman selalu membicarakanku dibelakang.aku juga tak percaya gossip-gosip itu. Sampai suatu hari Tarra ku pergoki mengambil salah satu barangku saat kami mengerjakan tugas bahasa Jepang di kamarku, sebuah pensil berwarna biru cerah. Ok, awal kali aku menganggap biasa saja. Kupikir dia mengira pensil itu kepunyaannya dan aku membiarkannya saat diam-diam memasukkan pensil ke dalam tasnya.
Tapi suatu hari, kelasku mulai ramai karena dihebohkan oleh kabar dari beberapa teman yang kehilangan handphone. Saat itulah pikiranku tertuju pada Tarra. Tarra ? Dimana dia? Aku mencarinya ke seantero sekolah.
“Tarra?!!”
“Kenna?”
Aku kaget bukan main saat menemukannya di belakang ruang BK yang tengah asyik memainkan sebuah smartphone. Tak asing dengan barang itu dan siapa pemiliknya, tanganku secepat kilat menyambarnya.
“Ini punya Keira, kan? Tunggu dulu, apa ini di dalam tas kecilmu?” aku membuka tas kecil itu perlahan. Tiga handphone lain tersimpan di dalamnya.
“Ra? Kamu nyuri??!”
Tarra mencoba menjelaskan sesuatu tapi suaraku seketika menggelegar. Aku tidak segan-segan berteriak melampiaskan kekecewaanku. Ah bukan, bukan kekecewaan tapi kemarahan. Betapa tidak? Seorang yang selama ini ku anggap sebagai sahabat sekaligus saudara kandung itu ternyata benar-benar pencuri! Maling! Aku tidak meyangka! aku sungguh malu mempunyai teman yang begitu terkenal akhir-akhir ini. terkenal bukan karena memenangkan sebuah olimpiade atau juara paralel kelas, tapi karena hobbynya yang memalukan. MENCURI!
Keesokan harinya Tarra mengirim sms. Dia mengatakan bahwa kejadian kemarin adalah salah paham. Saat itu seorang guru kesiswaan yang tengah ada urusan dengan guru BK menitipkan beberapa handphone setelah penggeledahan diam-diam saat siswa sedang olahraga. Yah, kau tau di sekolahku tidak diizinkan seorang siswa pun membawa telepon genggam. Tapi aku tetap tak percaya. Lagipula berita bahwa ia suka mencuri sudah beredar sebelum kejadian itu ada.
Sejak saat itu tidak pernah lagi aku menyapanya bahkan tersenyum padanya sedikit pun sekalipun kami satu kelas. Kenangan dua tahun persahabatan kami pudar begitu saja tanpa ada sedikit keinginan untuk mengenangnya. Sampai kapanpun aku tidak bisa memaafkannya. Aku kecewa, marah, malu! Tega ia berbuat seperti itu kepada teman-teman begitu juga terhadapku, ‘mantan’ sahabatnya.
Tarra juga terlihat semakin murung. Tiap hari makin murung apalagi saat berpapasan denganku. Pernah suatu hari ia mencoba menyapaku saat aku dan teman-teman yang lain sedang asyik bersenda gurau di kantin. Aku memang tidak membalas sapaannya dan itu memang menyakitkan. Tapi yang lebih menyakitkannya lagi adalah saat teman-teman mulai memperoloknya.
“Hey, maling! Ngapain kamu kesini? Disini tidak ada makanan khusus maling!”
“itu tidak seperti yang kalian kira!!!!” Tarra mencoba membela diri.
“Kamu malu sama dirimu sendiri, Ra? Kalau malu kenapa nyuri?? Hahahahahaha!”
“Aku. . . bukan. . . Mal. . .”
“Hahahahahahaha.” Semua orang tertawa, termasuk aku. Tapi seketika tawaku terhenti saat setetes air mata jatuh dipipinya sebelum ia beranjak lari dari tempat itu. aku bukannya lari mengejarnya tapi malah tetap duduk di sana sambil menikmati guyonan mereka tentang Tarra.
Beberapa hari setelah kejadian itu aku sudah tidak pernah lagi bertemu dengan Tarra. Dengar-dengar orang tuanya sengaja memindahkan sekolahnya karena suatu hal entah apa. Akhirnya sekolah ini tidak ada pencuri lagi, batinku.
Hari pun berganti sampai suatu ketika keluargaku tertimpa masalah. Aku tidak lagi diantar jemput oleh supir pribadi, tidak lagi di beri uang jajan, bahkan tidak lagi tepat waktu membayar SPP. Teman-teman yang biasa bersamaku kini menghilang satu-satu. Aku baru sadar bahwa zaman sekarang pun persahabatan itu ngga ada yang gratis! Setiap hari mau tidak mau gendang telingaku harus siap mendengar pertengkaran kedua orang tuaku. Sering aku menangis tengah malam. Dadaku terasa sesak. Mengapa segalanya menjadi buruk. Saking terpuruknya aku tidak sadar bahwa seseorang di luar sana masih memperdulikanku.
Hari itu hari jumat ketika hujan mengguyur sore hari. Aku duduk terisak disebuah kursi di tengah taman. Hujan semakin deras tapi aku tidak peduli. Aku menangis, berteriak! Tapi seseorang menyentuh bahuku dari belakang.
“Tarra?”
“Ken. . . “ Tarra tersenyum pelan. Cepat-cepat ku tepis tangannya dari bahuku.
“Ada perlu apa kau kesini?”
“Ken ? Maafkan aku. .” kulihat matanya mulai berair. Ia mencoba menyentuh bahuku tapi aku menepisnya. Aku masih belum bisa memaafkannya hingga detik ini.
“Pergilah. . aku tidak butuh ditemani!”
“Ken? Kau masih membenciku?” aku tidak menjawabnya. Bahkan isak tangisku tak lagi terdengar.
“Baiklah, itu hakmu masih membenciku atau tidak. Aku seorang penderita Kleptomania! Aku seorang pencuri! Pencuri memang harus dibenci, kan? Aku tau aku salah tapi akan lebih salah kalau aku membiarkanmu sendiri. aku memang bukan sahabatmu lagi, ken. Aku tidak mau kau mempunyai sahabat seorang pencuri. Tapi sekarang izinkan aku mencuri lagi, ken. Izinkan aku mencuri kesedihanmu dan kubalas dengan kebahagiaanku. Aku rela kau rengut kebahagiaanku kalau itu bisa membuatmu kembali ceria seperti dulu. Aku rela. . “
nafasku serasa berhenti sejenak. Tarra. . ? inikah Tarra? Aku menatapnya perlahan. Matanya basah tapi tetap tersenyum. Aku ingat senyum itu. Senyum yang pernah ku balas dengan tatapan dingin. Senyum yang pernah ku jawab dengan caci maki dan kemarahan. Kami saling diam. Sejenak kemudian perempuan di sampingku itu mendekapku, dalam. Aku menangis dalam pelukannya. Ia terus mengusap pundakku. Rasanya nyaman, tenang, meskipun hujan masih mengguyur kami berdua. Tarra. . bolehkah aku memanggilmu sahabat? Ah, tidak. Aku tidak pantas. Dia terlalu baik untuk orang yang tak tau malu sepertiku.
Tarra. . .
0 responses:
Post a Comment