~

~
by: Novi Ambarsari (vivovin)
menulis adalah secangkir teh hangat. silakan diminum selagi hangat. maka dengan ini, selamatlah membaca selagi ampasnya mengendap~

Friday, January 20, 2012

Dear Senior and Senior Degeneration

Dear senior and senior degeneration, can you say sharing than evaluating?

                    Semua orang adalah pemimpin. Entah itu pemimpin bagi diri sendiri maupun orang lain. Aku, kamu, mereka, dan orang-orang yang kita temui dimanapun adalah pemimpin. Kita kenal banyak pemimpin sejak kita mengenal arti pemimpin, dipimpin, dan memimpin. Ketika kita sudah tahu kalau diri kita adalah pemimpin bagi diri sendiri, coba lihat sekitar. ada banyak orang yang mengaku sebagai pemimpin suatu golongan. Dan coba lihat lebih dalam, maka kita akan menemukan perbedaan mereka satu sama lain. Ada yang sok, bijaksana, tidak bertanggung jawab, ada yang tidak tahu apa-apa, dsb..

                   Itu tadi sekilas tentang pemimpin. Kata ‘pemimpin’ mengingatkanku pada kata ‘senior’. Senior… kelihatannya terlalu kasar. Pasti kebanyakan dari kita menganggap senior adalah atasan. Wow, berarti junior adalah bawahan, dong? Kok gitu? Kedengarannya memang ngga’ enak. Tapi yaa begitulah kebanyakan.  S-E-N-I-O-R adalah pendahulu kita yang dianggap lebih berpengalaman. “Tapi belum tentu lebih baik dari juniornya,” my Mom said. (jempol buat my Mom d‘_’b)

                Sedikit bercerita nih, beberapa hari yang lalu di sebuah sekolah menengah atas di salah satu kota sedang mengadakan pentas seni yang diadakan turun-temurun atau lebih tepatnya setahun sekali. Acara ini diadakan oleh sebuah grup seni di sekolah itu dan segala kepengurusannya ada ditangan kelas 2. Setelah acara selesai seperti biasa diadakan apresiasi pada sesi terakhir. Apresiasi yang cukup panjang. Penutupannya adalah evaluasi kepemimpinan dari senior kelas 3 kepada juniornya. Lalu apa yang terjadi pada selanjutnya???

ADU MULUT .

Atau lebih halusnya perdebatan!

             Why? Debate, as a pretty-tipped of an evaluation? Mengapa itu bisa terjadi? Padahal evaluasi (yang sebenarnya) sendiri bertujuan untuk memberikan tanggapan dan saran yang MEMBANGUN, bukan sekedar kritik tanpa penyelesaian. Kok ujung-ujungnya jadi debat? Ngga’ dilombain pula -__-“

                Kembali pada cerita. Saat evaluasi berlangsung, sang senior berkata pada junior untuk introspeksi diri. Mereka mengatakan berbagai macam kelemahan dan kesalahan si junior. Dari semua kesalahan yang diungkapkan, ada beberapa yang tidak pernah dilakukan oleh junior. Contoh, menghargai senior. Mereka pun berucap kata introspeksi lagi. Dan alhasil, debat pun dimulai! TENGGG!!!

                Menurutmu apakah ini menggambarkan ketidakdewasaan? Kalau ya, siapa yang tidak dewasa? Senior, junior, atau malah dua-duanya? 

                   Sebenarnya, menurut saya pribadi sih kata-kata evaluasilah yang mempengaruhi segalanya dari awal sebelum sesi itu dimulai. Lho, kok bisa? Tentu saja bisa. Orang-orang akan berpikir dalam evaluasi pasti ada kritik. Hitung berapa orang yang rela dengan ikhlas mau dikritik. Sedikit sekali. Mereka kalangan minoritas. Sisanya adalah orang-orang yang menerima masukan yang disertai pujian. Mind-set mereka adalah kritik itu pedas padahal mereka belum merasakan rasa sebenarnya. Dan kritik itulah isi dari evaluasi. Karena sejak awal mereka disuguhi kata ‘evaluasi’, maka hal itu akan menyugesti otak mereka. Efeknya macam-macam, biasanya paling sering berupa kekhawatiran. Ujung-ujungnya adu mulut atau perdebatan, entah karena salah satu tidak terima atau keinginan untuk mengalahkan lawan bicara. Kesannya seperti perang, ya?

Lalu solusinya?

                 Solusinya adalah mengubah kebiasaan mengatakan ‘evaluasi’ menjadi ‘sharing’ atau berbagi. Ucapan sharing atau berbagi akan memberikan efek dan sugesti yang lebih baik dari pada evaluasi. Kesannya mendekatkan senior dengan junior atau antar lawan bicara. Kalau sudah, tinggal memulai sesi sharing-men-sharingnya. Akan sama saja hasilnya jika pembicara awal menggunakan nada yang terkesan menggurui dan dengan emosi. Namanya saja berbagi, ya ngga’ perlu pake emosi to? Apalagi menggurui. Itu mencoreng arti berbagi itu sendiri. 

                Nah, kalau semuanya sudah dilakukan segalanya akan lebih baik dan mudah. Persahabatan, kasih sayang, dan kepedulian tetap terjalin dari sebelum sampai sesudah sesi sharing. Jika dilihat dari cerita diatas kita dapat menyimpulkan bahwa kata yang kita pilih untuk diucapkan kepada orang lain ternyata sangat berpengaruh. Dan perlu kita ingat bahwa sebenarnya nasihat dan saran akan mudah diterima otak (ngga’ masuk telinga kiri keluar telinga kanan atau sebaliknya) kalau cara penyampainnya baik dan benar. Ngga’ hanya BENAR sesuai fakta dan logika tapi juga BAIK nada, tata krama, dan bijaknya. 

                  Oh, ya, ini ngga hanya untuk senior aja tapi juga para calon senior dan siapapun yang ingin menjalin good communication dengan orang lain khususnya para pemimpin everywhere dan whoever. Kalau ingin menjalin suatu hubungan yang baik tentu dimulai dari komunikasinya. 

Ini hanya opini penulis. Pasti kamu punya pendapat yang berbeda dan lebih baik. Hope can be useful.




Sincerely, writer (Miss. ketika-otak-lidah-dan-hati-pindah-ke-ibu-jari)

0 responses:

Post a Comment

Copyright © 2014 The Words World