God, I Swallowed My Own Tears
Buatku ini seperti rindu atau semacamnya. Aku bisa dibilang salah atau tidak salah karena memang ini bukan suatu yang kriminal (entah, apakah sesuatu yang salah itu selalu berbau kriminal atau tidak).
Aku sendiri membayangkan seseorang yang hanya bisa meminta-tak-pernah-memberi, membayangkan seseorang itu jelmaan dari karakter panggung kecil bernama timbal-balik.
Ia memang tak pernah membuat semacam perjanjian hukum timbal-balik seperti, “kalau kau sudah besar nanti aku mau kau yang membiayai hidupku.” Atau mungkin lewat perkataan seperti, “aku sudah memberimu itu, itu, ini, dan yang waktu itu. Jadi besok kau harus memberiku itu, itu, itu, dan yang itu juga.” Ia memang tak pernah melakukannya bahkan berniat sekalipun!
Ayah-ibu, aku memanggilnya. Karakter di atas panggung kecil bernama kasih sayang dengan jelajah kehidupan yang begitu besar. Ya! Ia tak pernah menanyakan, “kenapa kau tak juga membalas apa yang ku beri?”
TIDAK!
Tapi akulah yang selalu bertanya pada diriku sendiri, “Kapan aku pernah memberimu sesuatu? Semacam hadiah kebanggaan atau kado kebahagiaan?” Aku bahkan sering menuliskan kata-kata di dalam otakku, “Aku sayang ia dan aku akan membahagiakannya.”
TIDAK!
Tapi akulah yang selalu bertanya pada diriku sendiri, “Kapan aku pernah memberimu sesuatu? Semacam hadiah kebanggaan atau kado kebahagiaan?” Aku bahkan sering menuliskan kata-kata di dalam otakku, “Aku sayang ia dan aku akan membahagiakannya.”
TAPI KAPAN? APA?
Berkali-kali aku menelan air mataku sendiri. Berkali-kali pula rencanaku gagal untuk membuatnya tersenyum.
Aku menjemput waktu, suasana, dan tempat dimana aku bisa memberikan mereka banyak hadiah kebanggaan dan kebahagiaan.
Ya, and I still work hardly, God.
Until You takes my life :’)
0 responses:
Post a Comment