Kekuatan Contekan
Aku pernah membaca kalimat ini,
“murka Allah bagi orang-orang yang berdakwah tetapi tidak mengamalkannya.”
Kalau versiku begini, “Allah tidak suka pada hamba yang tong kosong nyaring
bunyinya.” Baiklah, aku mengerti. Tuhan menyuruh kita untuk melakukan apa yang
kita nasihatkan pada orang lain.
Biar gampang, saya kasih contoh.
Percakapan dua orang teman. Suatu hari, si B sedang mendapat cercaan dari orang lain.
A : “Jadi orang yang sabar, ya.. Jangan cepat merespon cercaan tadi pakai emosi.”
B : “Iya, makasih sudah ngingetin..”
Dua hari kemudian, pekerjaan si A mendapat cemooh dari seorang guru.
A : “Sialan! Aku udah capek-capek ngerjain sampai tengah malam! Ujung-ujungnya cuma di cemooh! Sial!”
B : “Kamu ini gimana, sih? Kemarin nyuruh aku sabar. Katamu jangan cepat emosi. Sekarang kok…?”
Si B pun kecewa dan meninggalkannya temannya, si A.
Menyampaikan kebaikan, menginginkan kebaikan dari orang
lain, tapi diri sendiri belum melakukannya? Apa bisa kebaikan itu diperoleh
dari orang lain? NO! Apa orang lain mau menuruti nasihat kita? NO! Pantaskah
kita disebut Teladan? ABSOLUTELY NO!
Ada banyak hal di dunia ini yang tidak kita sadari, telah
melupakan poin penting yang satu ini, “memberi contoh kebaikan.” Adakalanya
kita harus memberikan contekan pada orang lain. Kalau memberi contekan kebaikan
pada orang lain tentu tidak akan mengurangi kebaikan itu sendiri. Pahala tidak
berkurang, justru bertambah.
Kebanyakan dari kita cuma paham teori. Setengah-setengah
pula. “Pokoknya menyampaikan kebaikan.”
Lalu teori yang setengah-setengah itu kita sampaikan pada orang lain lewat
teori pula. “Pokoknya disampaikan, kan
sesama manusia harus saling mengingatkan.”
Jika ingin orang lain melakukan suatu kebaikan, maka kitalah
yang harus melukakan kebaikan itu sendiri terlebih dahulu. Bayangkan bila
Tukang menyontek saat ulangan menasihati temannya agar tidak menyontek. Apakah
temannya akan mengikuti nasihatnya? Sekedar mendengar nasihatnya saja tidak,
apalagi melakukannya.
Saya kasih contoh lagi, cerita sederhana (versi saya)
Di ruang tengah tampak seorang ibu dan seorang anak sedang menonton televisi. Ibu berkata, “ Ayo, waktunya belajar..”
Sang anak pun menjawab, “Ya, sebentar, bu.. “
Ibunya menunggu, melanjutkan menonton TV. Beberapa menit kemudian ibunya berkata lagi, “Katanya belajar? Ayo diambil bukunya!” lagi-lagi si anak menjawab, “ Habis ini, bu..” si anak serius menonton TV. Beberapa menit kemudian ibu menegurnya kembali namun si anak tetap menunda-nunda perintah sang ibu. Keadaan itu berulang terus hingga sang ibu mulai jera dan marah karena anaknya tidak juga melaksanakan perintahnya. Sedangkan acara televisi masih berkoar di depan mereka dengan menggoda-nggoda untuk ditonton.
Nah, dari cuplikan cerita di atas, pernah menemui atau
mengalaminya? Apa yang dapat kita simpulkan dari cuplikan di atas?
“Ah, itu mah salah
ibunya tuh..”
“Anaknya lah yang
salah, masa udah ditegur-tegur untuk belajar, ngga juga dilaksanakan?”
“No comment, deh.”
Ada yang berpendapat seperti itu?
Memberi contekan kebaikan saja belum cukup. Mempersilakan
atau memberi kesempatan orang lain untuk melakukan kebaikan pun juga perlu. Hal
itu jauh lebih berarti daripada menyuruh sambil membentak-membentak dan
terkesan memaksa bahkan memarahi. Dari cerita di atas, alangkah baiknya jika
sang ibu mematikan televisi sebelum menyuruh anaknya belajar. Dengan begitu,
akan timbul dukungan dari ibu kepada anak untuk belajar. Karena ibu
mempersilakan anaknya belajar dengan cara yang seharusnya. Jika televisi tetap
menyala dan ibu terus-menerus menegur anaknya untuk belajar, maka anak akan
berpikir untuk menundanya. Ibunya saja menonton televisi.
kaburumakqtan 'indzalloh, innallaha malaa taf'alun...
ReplyDeleteallah memang tidak suka dengan hambanya yang menasihati tapi tidak melakukannya, hehe aku lupa suratnya, itu di ayat ke 3, ayat pertamanya yang " saabaha lillahi......"
aku jadi lebih hati hati ne,,, hehe makasih yaaa dheek :*