~

~
by: Novi Ambarsari (vivovin)
menulis adalah secangkir teh hangat. silakan diminum selagi hangat. maka dengan ini, selamatlah membaca selagi ampasnya mengendap~

Saturday, March 24, 2012

Xingre (Bagian Satu)


Sekilas kami sama saja dengan penduduk desa lain. Pekerja keras, punya alat-alat tubuh lengkap, rambut kecoklatan karena tertempa matahari. Tapi kami aktif tengah malam. Maksudku kami terpaksa bangun tengah malam. Pandai membuat perangkap, panah, tombak, ikat kepala dari kulit cheetah, apalagi? Sepintas kami memang sama dengan penduduk lain. Sama-sama senang berburu. Tapi pembeda yang pasti adalah buruan kami, seekor Xingre!

***

“Aku tak tahu apa yang ada dalam ototmu, Maies. Atau jangan-jangan kau tak memiliki otot?”

“Tapi aku punya otak, Otot Besar!”

“Bahkan kau tak pernah membunuh seekor Xingre pun, Otak Besar! Payah!”

“Terima kasih. Ku anggap itu sebagai pujian!”

Sial ! aku benci bertemu mereka. Kulit-kulit kecoklatan yang hampir sama dengan gigi mereka! Argh Xingre, Xingre, Xingre! Kenapa setiap sudut desa selalu membicarakan Xingre? Aku heran kenapa mereka begitu bangga saat berhasil membunuh satu ekor Xingre. Maksudku, itu hanya binatang. Dan aku bisa membunuh binatang buas sepertinya. Yah, seekor lebah contohnya. Ok, baiklah aku memang payah sama sekali. 

“Kenapa kau tidak coba latihan membuat perangkap atau menggunakan boomerang atau setidaknya memanah yang benar-benar memanah, Maies?”

“Maksud ayah latihan untuk membunuh binatang raksasa itu?”

“Apakah aku harus menjelaskannya? Kau harus bisa berburu binatang itu!”

“Apakah aku harus menjelaskannya? Aku benci membunuh binatang. Yeah, itu bukan hobiku.”

“Sampai umurmu yang ke 18 kalau belum seekorpun Xingre mati ditanganmu, terpaksa aku. . .”

“Apa?” mataku meruncing menatap ayah. “ Tidak mau menganggapku anak?”

BRAKKK!
Lelaki itu pergi. Aku tidak peduli tapi sepertinya aku harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang terpaksa.

***

Hari ini aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Semua perlengkapan sudah kubawa panah, tombak, pisau dan bukan kapak. Harus kuakui kapak terlalu jelek buatku. Maksudku, yah kau tahu aku sedang malas membawa kapak sebesar itu.

Semua orang masih nyenyak bermimpi setelah semalaman berperang dengan puluhan Xingre yang tiba-tiba menyerang. Mereka berkoloni. Hanya beberapa yang bisa disebut anti sosial. Biasanya Xingre-xingre yang suka menyendiri adalah yang lebih buas, dingin, dan sangat besar! Saat semua orang bersusah payah menyerang mereka, ayah malah menyuruhku tidur. “hey, aku bisa memanah, yah!” itu kalimat terakhir yang ku katakan pada ayah. Aku terlalu lemah katanya. 

Baiklah, lupakan pelecehan semalam. Hari ini aku akan pergi ke hutan Awsq di barat daya sana. Berharap aku menemukan bangkai Xingre. Sehingga aku tidak perlu susah payah membunuhnya. 

Aku memulai perjalananku. Mental dan fisik sudah kusiapkan kalau-kalau nanti kawanan Xingre mengepungku. Xingre adalah binatang semacam singa tapi bedanya mereka lebih kuat, buas, dan tentu saja ukurannya sebanding dengan gajah berumur 11 bulan. Penduduk desaku biasa memburu mereka karena mereka selalu memburu kami terutama saat malam hari. Oleh karena itu rumah-rumah di desaku dikelilingi tembok batu yang tinggi. Dimana-mana dipenuhi perangkap Xingre dan parahnya aku pernah terjerat perangkap itu. Payah!

Aku sudah sangat jauh dari desa. Hutan Awsq memang begitu jauh. Sesekali aku beristirahat di bawah pohon Ek. Tapi aku tetap harus berhati-hati. Penciuman Xingre sangat tajam. Aku harus sering-sering mengoleskan rumput klowsq yang baunya cukup tidak enak ditubuhku untuk menyamarkan bau. 

Sejauh ini aku tidak menemukan Xingre-xingre itu. Aha aku mengerti, mungkin mereka takut terhadap anak lelaki kurus sepertiku. Sepertinya penjelajahanku ini tak membuahkan hasil. Baiklah aku pulang saja sekarang.
Aku berbalik arah. Secepat kilat udara di depanku menjadi lebih hangat. Bukan, bukan udara! Tapi dengusan. Oh kumohon aku hanya bercanda tadi. Kepalaku menengadah. Mataku kehilangan arah. Puluhan Xingre di depanku. Mungkin salah satu diantara mereka ada yang berkata, “Wohoo santapan yang lezat kawan!” atau mungkin mengatakan, “Aku tak sabar ingin melumat habis tulang bocah kurus ini!” Tak usah pikir panjang. Aku mundur perlahan. Siapa yang bisa kumintai tolong? Oh tidak habislah riwayatku! 

Aku segera berlari sekencang-kencangnya meskipun aku kalah cepat dari mereka. Apa aku menyerah saja dan membiarkan gigi tajam mereka melumatkan tubuhku? Tidak! Aku harus bisa lolos. Ya, memanjat! Adakah pohon yang sangat tinggi disini? Ah sial, jauh sekali. Bagaimana ini?!

Mereka masih dibelakangku saling berebut untuk berada diposisi paling depan diantara kawanannya dan saling mencakar. Itu memudahkanku untuk bisa lolos. Sesekali aku menoleh kebelakang untuk memastikan bahwa aku semakin jauh dan. . . BRUAKKK!

“Sial !” Aku menabarak seekor Xingre dibalik semak-semak yang sedang makan siang dengan gerombolannya. Semak-semak ini menutupi bayangan singa-singa raksasa itu. Kesimpulannya adalah mereka mengepungku dari depan dan belakang. Aku tak bisa berkutik. Bagaimana ini? Aku tidak mau mati konyol! Ah entahlah aku menyerah. Setidaknya aku diperbutkan oleh puluhan Xingre. 

Mulutku bergeming, berdoa. Kututup mataku, berharap dimakan mentah-mentah oleh binatang rasanya seperti dinina bobokkan oleh ibu yang menunggu kepulanganku disana. Ah, sejenak aku merindukan teman-teman bergigi hampir coklat disana yang senantiasa mengejekku. Ku peluk lututku erat. Badanku menggigil. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri bahkan auman singa-singa raksasa itu tersamarkan oleh detak jantungku sendiri. Mereka semakin dekat sepertinya. Dengusannya juga makin terasa. Ku beranikan diri membuka mata, melihat seberapa dekat maut menjemputku. Tapi aku semakin merasa. . . 

BRUKK!
GRRRAWWWWR!

Seekor Xingre mendarat diatasku. Tapi ia tak menindihiku atau mencabik-cabik kulitku yang tipis. Aku yang sangat kecil dan kurus atau binatang diatasku ini yang terlalu besar?

GRRRRAAWRRRRRRR!! 

Aumannya semakin menggema diatasku. Xingre-xingre disekelilingku mengaum lebih kencang. Bising sekali. Tapi aku merasa ada yang janggal. Kalau seekor Xingre sudah berdiri membayangiku seperti ini seharusnya yang lain ikut menyergapku dan seharunya mereka mencabik-cabikku. Tapi kenyataannya tidak, mereka malah mundur sambil terus mengaum. 

Xingre diatasku tiba-tiba meloncat ke depan. “Kaukah raja Xingre?” bisikku dalam hati. Tubuhnya sangat besar bahkan melebihi Xingre lain. Ia terus mengaum dan berputar disekelilingiku. Sepertinya ia mencoba mengusir anak buahnya. Aku agak kecewa karena tak jadi diperebutkan. Puluhan Xingre itu berlari menjauhi kami. Xingre yang kupikir raja itu mendekatiku. Sesekali ia mengaum kecil. Oh, tidak, beberapa detik lagi aku akan menjadi santapan seekor raja Xingre. 

Ia menggigit tas dipunggungku. Tubuhku semakin dingin. Aku akan dibawa kemana? Mungkin ke sebuah gua batu yang sangat jauh dari sini. Aku bisa saja melepas tasku tapi aku tak mau membayangkan tulang belakangku patah karena ini tinggi sekali. Aku seperti melayang. Kepalaku tiba-tiba sakit. Mungkin darahku setengah membeku saat ini. Ah entahlah kenapa disini banyak kunang-kunang? Mungkin lebih baik aku tidur.

***

“MAIES!!!! MAIES!!!” 

“Grouge, menurutku anakmu tak mungkin bermain di hutan Awsq ini.”

“Aku percaya firasat dan firasatku mengatakan ia berada disini. MAIES, DIMANA KAU???!”

“Tapi di sini terlalu berbahaya. Kalau firasatmu benar mungkin. . . anakmu sudah dimangsa singa itu.”

“Tidak! Tidak mungkin! aku yakin dia masih hidup! Aku. . . aku yakin. . .”

Grouge sejenak menghentikan langkahnya. Semua orang yang ikut mencari Maies juga berhenti, menatap ketuanya yang terlihat sangat cemas terhadap anaknya.

“Aku menyerah, mungkin dia memang sudah mati. .”

(To be continued)


0 responses:

Post a Comment

Copyright © 2014 The Words World